Menyingkap Sejarah Kelam Bangsa dalam Senyap

Sore itu Ramli berjalan pulang ke rumah dengan badan bersimbah darah. Wajahnya penuh luka. Sedang perutnya terkoyak hingga ususnya hampir keluar. Dalam kesakitan ia memanggil-manggil ibunya.

Segelintir cerita itu yang Adi dengar dari penuturan sang Ibu. Adi hanya terdiam ketika melihat langsung reka ulang adegan pembunuhan Ramli, kakak lelakinya, dari sebuah video. Pandangan Adi tak dapat teralihkan dari layar kaca saat dua laki-laki paruh baya dengan antusiasme yang tinggi memperagakan bagaimana cara mereka menyiksa dan menikam Ramli berkali-kali di pinggir Sungai Ular itu.

Ramli hanyalah salah satu korban dari jutaan orang lainnya yang tewas dalam pembantaian pada 1965. Ramli merupakan seorang buruh perkebunan yang dituduh sebagai simpatisan komunis. Ia dianggap terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada waktu itu sedang bersitegang dengan pemerintah.

Sampai saat ini bangsa kita disuguhkan cerita bahwa yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian pada tahun ’65 adalah PKI. Tapi, justru para pelaku ialah rakyat biasa yang tergabung dalam kelompok sipil. Bertahun-tahun keluarga Adi dan keluarga korban yang lain hidup dalam kesenyapan karena resmi dinyatakan “tidak bersih lingkungan”. Tak ayal, rasa takut pun terus menghantui. Pasalnya, para pembunuh yang membunuh anggota keluarga mereka kini masih hidup dan berkuasa.

Bosan dengan rasa takut dan ingin mengungkap kebenaran, Adi mendatangi para pelaku agar ia dapat mengenali mereka dan memahami apa yang sebenarnya dialami keluarganya. Beberapa kali Adi menyambangi tempat tinggal para pembunuh sebagai tukang kacamata.

Sembari memeriksa mata para pelaku yang sudah lanjut usia itu, Adi mengorek peristiwa pembantaian ’65. Dengan sabar dan mencoba untuk bersikap biasa saja, Adi melontarkan berbagai pertanyaan. Pembunuh-pembunuh itu dengan bangga bercerita. Bahkan sebagian dari mereka tidak merasa bertanggung jawab atas terbunuhnya jutaan orang akibat perbuatan mereka di masa lalu.

Itulah sepenggal cerita dalam pemutaran film Senyap (The Look of Silence) yang diselenggarakan oleh LPM INSTITUT, Kamis lalu. Pemutaran film karya Joshua Oppenheimer ini diadakan pada 11 Desember 2014 dan bertempat di ruang Teater Prof. Dr. Aqib Suminto Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) Universitas Islam Negeri (UIN)  Jakarta.

Seusai pemutaran film yang mengusung tema Merangkai Narasi Alternatif Peristiwa ’65 ini, diadakanlah diskusi dengan pembicara Redaktur Surah Sastra, Abi S. Nugroho, pendiri komunitas Mata Budaya, Okky Tirto, serta perwakilan LPM INSTITUT, Thohirin.

Dalam diskusi film yang pemutarannya sempat dihentikan di beberapa daerah ini, Abi S. Nugroho mengatakan, banyak narasi alternatif yang dapat menggambarkan peristiwa pada tahun 1965. “Narasi alternatif misalnya nasib para petani dan kelompok masyarakat menengah ke bawah yang masih saja belum merdeka. Kemudian di dalam sastra kita juga bisa membaca karya yang berhubungan dengan peristiwa 1965 atau peristiwa revolusi itu sendiri,” jelasnya.

Salah satu peserta dari The Zeitgeist Movement Indonesia, Peter Joseph menuturkan, Senyap menunjukkan tabir yang sebenarnya dari sejarah yang sudah direkonstruksi oleh para penguasa sampai saat ini. “Ketika kita sudah mengetahui sejarah yang sebenarnya dari film itu, apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.

Menangapi hal itu, Okky Tirto menjelaskan, dampak dari beredarnya film Senyap  sebenarnya  yang harus dipikirkan. “Apabila orang yang tidak terdidik ataupun tidak open minded menonton film ini dampaknya akan berbeda dan dapat menjadi masalah. Tak bisa dipungkiri bahwa ancaman dan kekhawatiran itu masih ada,” jelasnya.

Okky menambahkan, film Senyap menunjukkan adanya upaya pembodohan publik secara sistematis melalui politik pendidikan dan politik kurikulum seperti yang terjadi di sekolah-sekolah.

Senada dengan Okky, Thohirin menuturkan, peristiwa pembantaian yang terjadi pada tahun 1965 menimbulkan dampak selama bertahun-tahun setelahnya. “Masyarakat jadi berstereotip bahwa komunis itu jahat dan berbahaya. Tapi dari film Senyap kita jadi tahu kalau pemerintahan Soeharto yang melatarbelakangi peristiwa ’65,” tuturnya.

Ketua pelaksana pemutaran film Senyap, Selamet Widodo mengatakan, acara pemutaran film Senyap bertujuan agar para pemuda, khususnya mahasiswa tidak melupakan sejarah dan semakin peduli terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). “Jangan sampai kita melupakan perlawanan jika ditindas,” ujarnya.

Jeannita Kirana

cc: www.lpminstitut.com

2 thoughts on “Menyingkap Sejarah Kelam Bangsa dalam Senyap”

  1. nice article jen! Gue nonton film ini juga dan terlalu speechless sama cara berceritanya si pembunuh apalagi pas dia bilang kalo cara dia untuk menenangkan jiwanya dengan minum darah orang yang dibunuh. Too scary to be true…

    Like

Leave a comment